
berantasonline.com (Sukabumi)
Kebijakan Gubernur Jawa Barat, Dedi Mulyadi, yang menetapkan kapasitas rombongan belajar hingga 50 siswa per kelas mulai memunculkan reaksi beragam. Di lapangan, kebijakan ini dinilai meringankan satu sisi, namun memberatkan sisi lainnya, terutama bagi sekolah swasta.
SMK Ar-Rahmah, sekolah kejuruan yang berada di Jalan Nasional Sukabumi-Cianjur, Desa Selaawi, Kecamatan Sukaraja, Kabupaten Sukabumi, menjadi salah satu yang paling merasakan dampaknya. Pada penerimaan siswa baru tahun ajaran 2025/2026, sekolah tersebut hanya mampu menarik 10 siswa baru, jauh menurun dibandingkan tahun sebelumnya yang bisa mencapai 30 orang.
Kepala SMK Ar-Rahmah, Ujang Ruswandi, menilai kebijakan ini berpotensi mengganggu kualitas pembelajaran. Pasalnya, aturan sebelumnya melalui Data Pokok Pendidikan (Dapodik) sudah menetapkan batas maksimal 36 siswa per kelas.
“Kalau satu kelas diisi 50 orang, bagaimana guru bisa mengajar dengan efektif? Idealnya memang 36 siswa. Lebih dari itu, kualitas pasti menurun,” tegas Ujang saat ditemui, Selasa (15/07/2025).
Ia menambahkan, meski kebijakan ini digagas untuk memperluas akses pendidikan dan menekan angka putus sekolah, konsekuensinya justru membuat sekolah swasta semakin terpinggirkan. Banyak siswa kini lebih memilih sekolah negeri yang dianggap lebih murah dan lebih terjangkau.
“Dulu sekolah swasta masih bisa jadi pilihan alternatif. Sekarang hampir semua calon siswa lari ke sekolah negeri. Persaingan makin berat, dan sekolah swasta ditinggalkan,” keluhnya.
Menurut Ujang, jika tren ini terus berlanjut, bukan hanya jumlah siswa yang tergerus, tetapi keberlangsungan sekolah swasta pun terancam. Minimnya pemasukan dari siswa akan berdampak langsung pada pembiayaan operasional, termasuk gaji guru.
“Kalau hanya ada 10 siswa, bagaimana sekolah bisa bertahan? Bisa jadi banyak guru terpaksa dirumahkan. Saya dengar, beberapa sekolah swasta lain bahkan sudah tutup karena masalah serupa,” tambahnya.
Untuk itu, ia berharap Gubernur Jawa Barat membuka ruang dialog dengan sekolah swasta agar kebijakan tidak hanya berpihak pada sekolah negeri.
“Kami mohon suara sekolah swasta juga didengar. Tidak semua sekolah swasta mahal. Banyak yang tetap berjuang di tengah keterbatasan demi mencerdaskan anak bangsa,” pungkas Ujang.
(Ris)